
Di Indonesia hanya ada dua pilihan, menjadi idealis atau apatis. Sampai batas sejauh-jauhnya, seorang idealis terkadang dituding subversif dan menggangu kehidupan berbangsa-bernegara. Sejatinya kita ketahui bahwa para idealis itulah yang menjadikan bangsa ini lebih beradab dan bermartabat. Di sekitar tahun 1966 hingga 1968 banyak tercetus ide luhur dari orang pergerakan mengenai bagaimana negeri ini akan dibangun kembali, secara bersih demi keadilan sosial, dengan landasan hukum, berdasarkan demokrasi yang murni, dan sebagainya. Ketika tiba di penghujung tahun 1998, reformasi di negeri ini menemui puncaknya. Ledakan amarah rakyat itu terjadi karena kekecewaannya terhadap orde lama hingga orde baru seringkali menemui jalan buntu.
Meskipun era reformasi yang telah lama dinantikan ini nyatanya masih bisa dianggap sebagai eranya orde paling baru. Banyak hal-hal diluar estimasi reformasi ditemui, seperti politik dagang sapi, transaksi bisnis dalam pembuatan undang-undang, penggunaan hak diskresi oleh aparat berdasarkan asas kebablasan, penjegalan anggaran negara, pembatasan peran jurnalistik oleh pemerintah dengan pendekatan represif, evaluasi penyelenggaraan negara yang tidak pernah dilakukan secara komprehensif, hingga pada kasus korupsi yang selalu menghiasi hari-hari negeri ini.
Kita perlu meninjau kembali motivasi kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Juga perlu analisis mendalam mengenai falsafah negara ini saat pertama-tamanya berdiri. Sebab, tidak pernah ada tempat bagi orang-orang yang apatis untuk memikirkan negaranya, kita membutuhkan alternatif solusi dari para idealis dalam memecahkan persoalan kebangsaan akhir-akhir ini.
Sejak awal manusia sudah harus hidup bernegara, manusia tidak bisa lepas dari negara.Sifat itu merupakan konsekuensi manusia sebagai zoon politicon, makhluk yang tidak bisa lepas dari politik, dan appetitus societatis, makhluk yang berhasrat untuk hidup bermasyarakat. Manusia tidak bisa menghindar untuk berpolitik, dalam arti ikut serta menjadi anggota suatu negara. Pada saat bersamaan, manusia juga tidak bisa menolak konsekuensi keputusan-keputusan politik yang ditetapkan oleh negara. Manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri. Hal ini ditandai dengan adanya saling ketergantungan antara individu dan saling membutuhkan di antara sesamanya.Karena itulah, manusia kemudian membentuk berbagai organisasi yang salah satu di antaranya adalah negara.
Sebelum ada negara, keadaan hidup manusia cenderung chaos, suka berkompetisi dan punya naluri perang untuk bisa menguasai sumber-sumber penghidupan yang sangat terbatas, dengan cara penjajahan baik yang berasal dari dalam maupun dari luar teritorinya. Akibatnya, pertumpahan darah kerap terjadi, keselamatan diri senantiasa terancam dan serba tidak pasti. Kondisi demikian lama-kelamaan membimbing nalar manusia untuk menemukan kehidupan yang lebih baik. Akal mengarahkan manusia untuk membentuk kehidupan yang lebih damai dan tertib, tidak anarkis, dan tidak membahayakan keselamatan diri.
Dengan demikian, negara dibentuk secara etis rasional sebagai aktualisasi fitrah manusia,yang cenderung ingin hidup damai di bawah kekuasaan negara dan hukum tertentu ketimbang hidup bebas tetapi anarkis dan penuh ancaman.Untuk itu pula, negara dibentuk guna mencapai tujuan hidup, termasuk tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama.
Negara merupakan produk kontrak sosial, sebuah kesepakatan bersama untuk menjaga dan menciptakan keselamatan bersama dalam naungan kekuasaan negara. Kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Kontrak Sosial itu menjadi sebuah dokumen pendirian negara, yang pada era ketatanegaraan modern disebut sebagai konstitusi. Secara umum, konstitusi dipahami sebagai hukum dasar pertama dalam pembentukan serta penyelenggaraan negara. Di dalam konstitusi itulah tertuang tatanan aturan-aturan dasar penyelenggaraan negara.
Kesepakatan yang dituangkan di dalam konstitusi dibuat untuk menampung dan mengatasi kepentingan seluruh masyarakat dalam negara. Masyarakat pada kenyataannya tidaklah bisa homogen. Dalam realitasnya masyarakat berdatangan dari latar belakang, kelompok, paham, pendidikan, dan agama yang berbeda-beda yang tentu membawa kepentingan masing-masing. Melalui konstitusi itulah berbagai kepentingan yang berbeda tersebut diagregasikan dan dimusyawarahkan untuk mencari jalan tengah, kemudian itulah yang disepakati bersama.
Di Indonesia, UUD 1945 berangkat dan dikonstruksi di atas heterogenitas dan pluralitas masyarkatnya. Perbedaan latar belakang baik suku, ras, pendidikan, agama, membuat para pendiri negara memiliki pemikiran dan perspektif berbeda-beda.UUD 1945 menjadi tonggak bagi konvergensi antarkepentingan yang melebur ke dalam semangat kebangsaan yang besar, mengatasi segala paham primordialisme dan agama. Atas dasar itu, UUD 1945 dapat dikatakan menjadi konstitusi yang tegak di atas kesepakatan bersama untuk menjadikan negara bangsa ini menjadi negara yang pluralistik tetapi bersatu, sehingga hiduplah jiwa dan sekaligus semboyan Bhinneka Tunggal Ika. UUD 1945 dikonstruksi di atas kesepakatan bersama untuk tidak menafikan perbedaan tetapi tidak juga mempersoalkan atau meruncingkan perbedaan. Dalam urusan bernegara, UUD 1945 menjadi kesepakatan bersama yang menjadi pegangan hidup berbangsa dan bernegara.
Sebagai produk kesepakatan bersama, konstitusi merupakan mitsaqan ghaliza, janji suci, perjanjian yang teguh dan kokoh. Itu sebabnya, konstitusi bersifat mengikat, harus ditaati,dan harus pula dilaksanakan oleh seluruh elemen negara itu tanpa kecuali. Sifat mengikat konstitusi didasarkan atas dasar kekuasaan tertinggi atau kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Di negara demokrasi seperti ini, rakyatlah yang menentukan berlakunya suatu konstitusi. Dalam kedudukannya sebagai hukum dasar yang paling fundamental sifatnya, maka konstitusi menjadi rujukan jika terjadi persoalan dalam bernegara. Apa pun jenis dan macam persoalan, jawaban dan solusinya harus senantiasa dicari dan merujuk kepada konstitusi.Sebagai mitsaqan ghaliza, konstitusi sah sebagai dokumen hukum dan politik yang harus ditaati, menjadi pedoman dalam bernegara, dan wajib dijalankan.
Oleh karena itu, setiap persoalan kebangsaan akarnya adalah sistem yang mengaturnya, yakni konstitusi sebagai sistem induk bernegara, dan undang-undang sebagai sistem penjelasnya. Setiap menemui persoalan kebangsaan, maka yang bijaksana adalah merunut pemecahannya mulai dari sistem pengaturnya hingga pada para pelakunya. Jika sistem dinilai baik dan dirasa cukup relevan dengan kebutuhan kekinian, maka tentu yang bermasalah adalah pelakunya, dalam hal ini penyelenggara negara. Solusi atas persoalan kebangsaan itu hanya bisa didapatkan ketika peran social participation, social support, social control, dan social responsibility berfungsi dengan baik, tanpa kompromi kepentingan.
Oleh ADITYO PERMANA
Analis Hukum dan Politik,
Pendiri Gerakan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (GMKB)