BEKASI – Kemunculan hijab halal pada salah satu brand jilbab terkenal disambut beragam reaksi di media sosial. Netizen mengkritisi apakah memakai jilbab yang mengantongi sertifikasi halal menjadi sebuah keharusan bagi muslimah yang berhijab.
Motivasi Zoya mengeluarkan hijab halal juga dipertanyakan dan dicurigai hanya kepentingan bisnis semata dengan dalih agama. Sebagian netizen berargumen bahwa harga hijab harusnya sesuai “kantong belanja”, sementara harga hijab dari Zoya terlampau mahal.
Kabar kehadiran hijab halal tersebut muncul dalam sebuah gambar yang ramai disebar di media sosial. Dalam gambar, brand yang berada dibawah naungan PT Shafco tersebut menampilkan tulisan dengan judul “Kerudung Bersertifikat Halal Pertama di Indonesia” dan aktris Laudya Chynthia Bella sebagai modelnya. Gambar tersebut menerangkan bahwa kerudung yang halal ditentukan dari jenis kainnya, apakah mengandung gelatin babi atau tidak.
Terkait dengan pemberitaan tersebut, publik jadi tertarik dengan penggunaan bahan dasar pembuatan kain untuk kerudung tersebut. Pihak Zoya menyatakan bahwa gelatin babi umumnya digunakan saat proses pencucian bahan tekstil. Zoya mengklaim produknya telah diuji coba dan hasilnya tidak mengandung babi, sehingga ditetapkan halal menurut MUI.
Zoya membaiat diri sebagai kerudung bersertifikat halal pertama di Indonesia. Mereka menyebutkan, bahwa dalam pembuatan kerudung tersebut, mereka menggunakan emulsifier berbahan tumbuhan dan bukan berbahan daging babi pada saat pencucian kain. Zoya juga memasang reklame iklan raksasa di kota-kota besar dengan tagline “Yakin Hijab Yang Kita Gunakan Halal?”
Sesungguhnya, masyarakat muslim dapat memaklumi mengapa label-label ternama di Indonesia mengambil cara ekstrim untuk pemasaran suatu produk. Maka semestinya tak perlu diherankan lagi jika merek sekelas D & G ikut meramaikan pasar global perbakulan hijab.
Jika Zoya sudah cukup puas dengan Laudya Cintya Bella dan Ivan Gunawan, kondisi ini tentu cukup mengguncang pasar konsumen mulai dari level tante-tante istri pejabat, artis dan anggota DPR yang mendadak jilbaban tiap kepergok KPK, sampai muslim kelas menengah, yang sebenarnya telah diprediksi majalah SWA sejak tahun 2014 lalu.
Apakah ini merupakan cara para produsen dalam usaha pemasarannya untuk menyambut era perdagangan bebas yang seru ini lewat bantuan MUI?
Zoya, pada gilirannya justru dicaci dengan uji coba strategi pemasaran hijab halal-nya. Strategi ini memang tampak terlalu gegabah dan terburu-buru. Utamanya untuk masyarakat sekritis Indonesia. Masyarakat kita tentu tak perlu membuka kitab Fikih Syaikh Yusuf Qardlawi untuk mengecek keabsahan soal halal-haram kain. Mereka hanya cukup menalar bahwa perintah sempakan tentu lebih penting daripada perintah berjilbab. Berjilbab tanpa sempakan bagaikan berpuasa Ramadhan tapi tidak shalat lima waktu, atau buka puasa bersama tapi kelewat shalat maghrib.
Jadi, apakah Anda sudah memastikan sempak Anda semua halal? Sebab sempak yang mengandung gelatin babi sungguh akan mempengaruhi kebarokahan vitalitas reproduksi.