Ternyata, Ini Alasan Kelangkaan Obat RSUD Bekasi

Ilustrasi ObatBEKASI SELATAN – Menurut Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi, Titi Masrifahati, minimnya stok obat di RSUD ditengarai oleh beberapa faktor, mulai dari keterlambatan supplier, hingga tidak tercantumnya harga dalam platform obat di BPJS.

“Ada stok obat yang kosong, seperti obat jantung dan kejang. Ini karena pembelian obatnya pakai E-Catalog, jadi kita nggak bisa pantau ketersediaan barang. Misalnya udah pesen, tapi barang nggak sampe tanpa ada pemberitahuan tertulis dari pihak distributor. Ini kan menyulitkan. Setidaknya, kalau ada info barang nggak tersedia, kan bisa nyaranin buat beli di luar, walupun risiko harga lebih tinggi,” ujar Titi kepada infobekasi.co.id, Kamis (07/04).

Menurutnya, akibat tidak adanya bukti tertulis dari pihak distributor bahwa tidak bisa kirim obat karena stok kosong, pihak RSUD akhirnya hanya dapat menunggu datangnya obat dengan harapan obatnya akan ada semua.

“Secara Standart Operational Procedure (SOP), kita harus beli ke tempat lain, misalnya ke apotek, kalau distributor tidak ada stok obat. Namun kan untuk beralih perlu waktu. Makanya tanpa ada bukti tertulis, kita juga nggak bisa ambil keputusan,” imbuhnya.

Selain itu, faktor keterlambatan dalam proses pengiriman obat juga menjadi kendala dari pihak RSUD dalam penyediaan obat. Dimana biasanya, menurut penuturan Titi, stok obat selalu tersedia untuk beberapa bulan ke depan.

“Tapi karena pengiriman telat, jadi jeda waktu kedatangan obat melalui katalog nggak tepat. Setiap supplier juga ada yang lancar ada yang nggak. Contohnya hari ini, saya baru dapat pernyataan dari salah satu supplier, Kimia Farma, bahwa sedang nggak ada obat. Jadi memang ini kelangkaan obat,” tegasnya.

Sementara, lanjut dia, dalam SOP, surat kelangkaan baru bisa dibuat setelah kelangkaannya sudah mencapai minimal 3 bulan.

“Padahal sekarang ini sudah nggak bisa bergerak. Tapi harus nunggu 3 bulan. Harusnya saat langka bisa berikan bukti tertulis,” kata dia.

Kemudian faktor selanjutnya, lanjut Titi, ialah terkait BPJS, dimana secara presentase, RSUD melayani hampir 80 persen pasien yang mengikuti kepesertaan BPJS, sisanya umum dan SKTM.

“Untuk BPJS, maka obat dicover langsung oleh BPJS dengan cara pihak RSUD melakukan klaim ke BPJS,” kata dia.

Ia menjelaskan, bahwa RSUD menggunakan platform obat untuk obat-obat kronis, seperti jantung dan kejang, dimana untuk pilihan item-item obat tersebut disediakan dalam aplikasi.

“Ada beberapa obat yang belum masuk harganya dalam aplikasi, padahal obat ini diperlukan. Ini yang jadi mslh nasional. Kendalanya, pihak RSUD nggak bisa mengklaim ke BPJS, sehingga di farmasi terjadi hambatan karena harus membeli obat keluar dimana risikonya harga obat akan lebih tinggi,” paparnya.

Ia mengungkap, selama tiga bulan terakhir ini, untuk beberapa obat yang tidak tercantum harganya di platform BPJS, maka anggaran pembelian obatnya menggunakan anggaran RSUD tanpa bisa klaim di pihak BPJS. (Sel)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini