Mardiyem, Mantan Budak Seks Jepang : Pemerintah Jepang Harus Meminta Maaf!

MardiyemPerbudakan seks yang dilakukan oleh tentara Jepang pada zaman kedudukan Jepang, 1942-1945, tentu membuat para korbannya menjadi trauma. Salah satunya yakni Mardiyem. Ia disebut oleh para tentara Jepang dengan nama Momoye. Konon nama itu diambil dari nama seorang artis di Jepang.

Mardiyem adalah anak yatim-piatu yang sehari-hari bekerja sebagai abdi dalem dengan tugas mengurus kuda dan kereta. Usianya 13 tahun ketika otoritas Jepang setempat membuka kesempatan bagi anak-anak perempuan untuk menjadi pemain sandiwara. Karena gemar bernyanyi, ia pun ikut mendaftar. Mereka yang terpilih diwajibkan menjalani pemeriksaan kesehatan.

“Adik kan mau naik kapal, Borneo jaraknya jauh bisa dua sampai tiga hari di dalam kapal, jadi badannya harus sehat…,” demikian alasan yang diberikan asisten dokter Soesroedoro yang membuka praktek di daerah Panembahan, Yogyakarta, kepada Mardiyem yang tahunya hanya bahwa ia bakal gabung dengan kelompok sandiwara Pantja Soerja di Borneo (kini Kalimantan).

Selain Mardiyem, ada sekitar empat puluh anak perempuan lain yang berusia antara 16 – 22 tahun yang ditumpangkan ke sebuah kapal menuju Borneo pada Agustus atau September 1942. Hanya Mardiyem dan tiga anak perempuan lainnya yang baru berusia 13 tahun, yaitu Soetarbini dari Tedjokusuman, Karsinah dari Tamansari, dan Jaroem dari Sosrowijayan. Satu kapal, namun macam-macam harapan yang disimpan para perempuan yang diangkut dari Jawa ke Borneo itu. Mardiyem mengharapkan dirinya menjadi pemain sandiwara sesuai janji, namun yang lain-lain ada yang mengharapkan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan rumah makan. Ketika akhirnya mereka berlabuh di Borneo, nasib yang menanti sama sekali di luar harapan apa pun yang pernah ada di atas kapal itu.

Seminggu setelah sampai di Banjarmasin, Mardiyem dan sejumlah perempuan lain yang sekapal kemudian dibawa ke Hotel Telawang. Mardiyem ditempatkan di kamar No 11 dan harus menjawab bila dipanggil Momoye.

Mardiyem tidak pernah menyangka bahwa dengan nama itu dirinya terhempas tanpa daya ke perangkap perbudakan seks militer Jepang. Tubuhnya menjadi pelampiasan, permainan dan sasaran puluhan lelaki, silih berganti, siang dan malam setiap hari.

Ketika ia mengandung lima bulan, ia dipaksa untuk menggugurkan janin. Dan sejak pengguguran paksa itu, Mardiyem cacat rahim seumur hidup.

Seusai perang, hukuman masyarakat pun tidak kalah kejamnya. Secara sepihak mereka para mantan budak seks dinyatakan cacat moral, semata karena mereka dinilai bekas pelacur. Untuk menghindari diskriminasi, banyak dari mereka memilih untuk menyembunyikan masa lalu mereka atau hidup mengucilkan diri dalam duka dan kemelaratan hingga akhir hayat.

Pada tahun 1993, Mardiyem menjadi eks Jugun Ianfu Indonesia pertama yang mengadukan nasibnya kepada pendamping hukum, yakni kepada LBH Yogyakarta, sebagai langkah awal untuk merintis perjuangan mencari keadilan bagi para perempuan Indonesia yang dipaksa menjadi budak seks oleh penguasa militer Jepang.  Dua tahun kemudian, Mardiyem didampingi LBH Yogyakarta pergi ke Jepang untuk pertama kalinya membuka masalah Jugun Ianfu Indonesia di forum internasional. Setahun kemudian Mardiyem mendapat undangan dari salah seorang dosen Jepang untuk mensosialisasikan kesaksiannya sebagai seorang budak seks di kampus-kampus Negeri Sakura itu.

Lebih dari sepuluh tahun ia berjuang, mengedepankan diri sebagai saksi hidup dari kejahatan kemanusiaan yang dituduhkan kepada kekaisaran Jepang dan balatentaranya. Dalam perjalanan panjang itu Mardiyem menyaksikan satu per satu teman sesama mantan budak seks pergi selamanya karena usia renta dan sakit-sakitan. Ia pun menyusul pada 21 Desember 2007, pada usia 78 tahun.

Menurut Mardiyono, anak satu-satunya Mardiyem, Mardiyem hanya berharap agar tetap semangat memperjuangkan nasib eks Jugun Ianfu dan menuntut agar Jepang minta maaf kepada semua mantan budak seks di Indonesia. Pada saat-saat terakhirnya, Mardiyem menitip pesan untuk Pemerintah Indonesia agar melakukan sosialisasi  Jugun Ianfu kepada generasi muda serta melakukan pelurusan sejarah pada kurikulum pendidikan di Indonesia, khususnya tentang  siapa dan mengapa ada Jugun Ianfu. Mardiyem tidak setuju istilah Jugun Ianfu disamaartikan dengan pelacur, sebagaimana yang sekarang ada pada buku sejarah sekolah-sekolah. (Adm)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini