infobekasi.co.id – Sebuah Cagar Budaya bernama Saung Ranggon berlokasi di Jalan Cikedokan, RT.002/RW.08, Cikedokan, Kecamatan Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi diperkirakan telah ada sejak abad ke -16.
“Istilah bahasa arti dari saung kalau menurut Bahasa Sunda itu rumah, sedangkan ranggon itu adalah tinggi. Jadi rumah tinggi atau rumah panggung. Namun, orang lebih mengenalnya Saung Ranggon,” jelas Fauzi, cucu dari kuncen Saung Ranggon, Encup, saat berbincang dengan tim reporter infobekasi, beberapa waktu lalu di Cikedokan, Cikarang, Bekasi.
Saung ini berbentuk bangunan seperti rumah panggung dikelilingi pagar. Kini Saung Ranggon merupakan tempat yang dilindungi dan dijaga keasliannya (cagar alam).
Di pekarangan Saung Ranggon ada tempayan (gentong) berisi air yang sudah berusia lama. Ada juga bangunan Musala dari kayu, beranyam bambu, serta sumur keret tua.
Meski usianya yang lebih dari satu abad, bangunan ini tetap memiliki kesan kokoh dan kuat. Bahkan kayunya tidak ada yang lapuk atau termakan rayap.
Kayu yang digunakan, menurut keterangan sang kuncen, kayu ini berasal dari luar pulau Jawa yakni Kalimantan berjenis kayu ulin.
“Saya sendiri sampai saat ini tidak menemukan rayap, malah kayu itu justru semakin hari semakin keras,” kata Fauzi.
Dinas kebudayaan Kabupaten Bekasi melarang mengubah dan merusak ornamen yang ada. Perawatan yang dilakukan hanya sebatas menjaga dan membersihkan, tanpa bahan kimia. Hal ini dilakukan demi menjaga nilai khas dan kealamian bangunan.
Saung Ranggon menyimpan banyak misteri dan penuh dengan sejarah perjuangan para wali dan tokoh bangsa Indonesia. Ceritanya santer menjadi buah bibir masyarakat sekitar turun temurun di Desa Cikedokan.
‘’Kalau dari sejarahnya sendiri sampai saat ini masih menjadi misteri,” jelas cucu dari Encup Sumiyati Sang Juru Kunci.
Rumah tradisional ini diprediksi pertama kali dibangun Pangeran Rangga untuk bersembunyi dari serbuan kolonial Belanda.
Pada tahun 1619, anak dari Pangeran Jayakarta melarikan diri setelah menerima kekalahannya atas perlawanan dengan VOC.
Kemudian, pada tahun 1812 Saung Ranggon ditemukan Raden Addas yang merupakan prajurit dari Kerajaan Mataram.
Rumah panggung dibangun dengan tinggi sekitar 2,5 meter kini masih di jaga keturunan dari Raden Abbas, yakni Ibu Encup, nenek dari Fauzi.
“Di prediksi sekitar 1821, menurut warga sekitar memang sudah ada di Desa Cikedokan. Siapa tokoh yang menemukan, menurut cerita keturunan dari Mataram atau bala tentara Mataram. Kita biasa sebut disini namanya Mbah Raden Abbas,” tutur Fauzi.
Sekedar informasi, Saung Ranggon ini biasanya menggelar acara adat di sekitar pekarangan, contohnya seperti hari Maulid.
Sang Juru Kunci akan mencuci benda-benda pusaka yang ada, juga menyajikan kesenian khas Bekasi, sehingga menjadi objek wisata bagi masyarakat.
Saung ini ramai dikunjungi pada waktu-waktu tertentu terutama malam Senin, malam Jumat Kliwon, Sabtu Suro, Maulid Nabi, serta Rajaban.
Terjaganya cagar budaya ini diharapkan masyarakat menjadi melek dengan kebudayaan daerah. Pelestarian kebudayaan ini tidak boleh ditinggalkan generasi penerus bangsa selanjutnya.
‘’Harapannya, tetep secara objek Saung Ranggon ini masih eksis. Terjaga, terawat, dan rapih,” pungkas Fauzi.
Reporter : Aleisa, Amalia, Tari, Zahara
Editor : Deros D.Rosyadi