Selepas diputuskannya Wakil Walikota Bekasi Ahmad Syaikhu bertarung di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat, peta politik pun berubah. Meski belum ada pesta perpisahan, namun kata PKS sudah 99% Ahmad Syaikhu maju sebagai calon Wakil Gubernur Jawa Barat mendampingi Deddy Mizwar.
Awalnya, baik Syaikhu maupun Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan akan kembali bersama dalam Pilkada Kota Bekasi 2018. Wajar, praktis tak ada silang sengekta selama mereka memimpin Kota Bekasi. Keduanya berjalan dengan adem ayem tanpa konflik. Tak ada gonjang ganjing politik selama mereka berdua berkuasa. Layak diapresiasi.
Sejatinya, kekuatan politik (magnet tokoh) Kota Bekasi, terletak pada dua tokoh ini, Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu. Berbagai survey politik menunjukkan pendulum politik berada di kedua tokoh ini. Jika kedua tokoh ini lanjut bersama pada Pilkada 2018, tidak ada penantang yang kuat. Bisa dipastikan menang telak. Polusi politik sangat rendah.
Sementara ini, peta politik Kota Bekasi berubah sejak Ketua PKS Jawa Barat Ahmad Syaikhu ditetapkan sebagai calon wakil gubernur. Membuka banyak kemungkinan, awalnya terbatas. Awalnya ada tiga opsi dominan, PAS jilid II, siapa penantangnya atau PAS pecah?
Opsi PAS pecah atau Syaikhu ke provinisi banyak diharapkan kekuatan politik yang berharap bisa menjadi wakil Walikota mendampingi Rahmat Effendi. Diam-diam banyak yang berebutan wakil walikota mendampingi Rahmat Effendi. Tentu ini bukan tanpa alasan. Saat ini tidak ada figur yang menantang potensial Rahmat effendi kecuali Ahmad Syaikhu. Ketua PKS Jawa Barat itu sendiri tidak ikut bertarung di kota, ia memilih pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Belum lagi soal capital, semua resources menumpuk pada Rahmat Effendi. Dan yang tak kalah menggiurkan banyak pihak, Rahmat Effendi tinggal satu periode lagi. Wakil Walikota sebagai batu loncatan menuju Bekasi satu semakin terbuka.
Keinginan memisahkan Rahmat Effendi dan Ahmad Syaikhu sudah berjalan secara natural. Tinggal agenda kedua, menyudahi koalisi politik PKS-Golkar. Koalisi berakhir, karena jika koalisi berlanjut maka posisi PKS sebagai nomor 2 Rahmat Effendi tidak tergantikan.
Sekarang kemungkinan banyak dan bervariasi. Terbuka banyak kemungkinan. Pertama, Rahmat Effendi akan bersanding dengan kadernya sendiri. Eksprimen kuning-kuning, seperti di Kabupaten Bekasi coba didorong sejumlah tokoh Golkar Kota Bekasi. Opsi ini mendapat dukungan dari tokoh senior Golkar dan sejumlah fungsionaris Golkar Kota Bekasi.
Rahmat Effendi sendiri kurang sreg dengan opsi ini. Bagi dia pilihan ini tidak akan membuat Golkar solid dalam Pilakda 2018. Pasalnya, Rahmat Effendi akan berada dalam dilema, memilih Anggota Fraksi Golkar Jawa Barat Siti Aisyah atau Sekretaris Golkar Kota Bekasi Heri Susetyo. Masalahnya, keduanya berminat mendampingi Pepen, panggilan akrab Rahmat Effendi. Memilih salah satu diantaranya, akan menjadi masalah dikemudian hari. Tak ada jaminan Golkar akan solid. Opsi kuning-kuning ini belum tentu juga diterima oleh partai koalisi yang sudah digalang oleh Rahmat Effendi. Bagaimana pun Golkar harus bangun koalisi. Golkar tidak cukup syarat jumlah kursi untuk bisa mengajukan calon sendiri.
Kemungkinan Kedua, Partai Golkar kembali bersatu dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Meski selama ini dibaca oleh publik, PDIP Kota Bekasi dengan Golkar Kota Bekasi ada masalah selepas pemberhentian Mochtar Mohammad sebagai walikota. Bukan tak mungkin kembali mesra di Pilakda 2018. Tak ada yang tak mungkin dalam politik.
Persoalannya, Pepen mau meminang siapa dari kader PDIP? Dan yang jelas bukan Mochtar Mohammad. Dunia akan tertawa jika Mochtar Mohammad wakilnya Pepen. Dan Pepen belum tentu nyaman. Ada tiga nama yang potensial untuk menjadi pendamping Rahmat Effendi jika memilih PDIP, Ketua PDIP Kota Bekasi Anim Amanudin, Ketua DPRD Kota Bekasi Tumay dan Anggota Frasksi PDIP Jawa Barat Waras Warsito.
Lagi-lagi pertanyaannya, apakah Pepen sudah nyaman bersandingan dengan kader-kader PDIP? Sudah siapkah Pepen was-was jika kelak bersama-sama memimpin Kota Bekasi? Hanya Rahmat Effendi tahu jawabannya.
Selain pilihan pragmatis, gabung dengan Pepen, sebagai wakil, opsi lain juga diajukan oleh kader militan partai berlambang banteng tersebut. Maju dengan kader sendiri. Toh, PDIP bisa maju tanpa koalisi. Nama yang digadang-gadang, Rieke Diah Pitaloka. Kader PDIP yang kini duduk di DPR RI. Soal popularitas, bukan persolan.
Kemungkinan Ketiga, Setelah Golkar, PKS Kota Bekasi menarik untuk dibaca arah politiknya pada Pilkada 2018. Tidak bisa mengajukan sendiri pada Pilkada 2018, PKS harus cermat dalam membaca peta dan hitungan politik.
Setelah Ahmad Syaikhu maju ke provinisi, PKS Kota Bekasi menyiapkan dua nama, Ketua PKS Kota Bekasi Heri Koswara dan Anggota Komisi II DPR RI Sutriyono. Kedua nama ini sudah masuk ke kantong Ketua Majelis Syuro PKS Habib Salim Segaf Al Jufry.
Kemungkinan Keempat, konsolidasi pada partai menengah. Partai-partai menengah menggalang kekuatan diluar 3 partai mainstream, PDIP, Golkar dan PKS. Karena hingga saat ini baru PPP yang mendeklarasasikan secara resmi.
Bukan tidak mungkin, partai menengah ini bisa menggalang poros tengah. Situasi ini akan terbentuk jika trend elektabilitas Pepen melebihi angka 40 persen. Poros tengah hanya memerlukan tokoh segar yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat Kota Bekasi.
Kemungkinan lainnya akan terbentuk seiring dengan dekatnya pendaftran. Kita tunggu saja, ke mana pergerakan para bakal kandidat ini mengerucut. Masih terbuka banyak opsi. Etdah, ini politik tong, satu menit aje bisa berubah. Kalem aje, napa?