Dewasa ini banyak yang menafsirkan emansipasi wanita dengan cara yang keliru. Berhubung hari ini, Kamis (21/04), diperingati sebagai Hari Kartini, maka tulisan ini mungkin bisa meluruskan pandangan yang sudah melenceng ini.
Raden Adjeng Kartini, yang lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879, merupakan salah satu tokoh Feminis Indonesia. Satu hal yang membingungkan, banyak yang berpikir negatif tentang aliran ini, tapi kenapa budaya yang memperingati Kartini masih dilestarikan sampai sekarang? Artinya tidak ada kekonsistenan dalam hal ini. Lagipula, apa faedahnya pergi ke sekolah dengan mengenakan kebaya? Apa itu hanya simbol? Lagipula semua simbol pasti punya arti bukan?
Kartini, seperti wanita lain yang hidup pada zamannya, semua serba dibatasi. Mulai dari pendidikan, berorganisasi, dan dari segi kehidupan yang lainnya. Karena merasa “gerah” Kartini kemudian memberontak dengan caranya sendiri. Ia ingin bisa bebas. Wanita punya hak yang sama seperti laki-laki. Kenapa bisa dibedakan? Padahal kedua-duanya adalah insan Tuhan yang punya hak sama. Kecuali kodrat. Jika sudah berbicara kodrat, tidak ada yang bisa membantah. Kodrat adalah hak mutlak.
Kaum feminis sebenarnya memperjuangkan hak, yang memang sudah sepantasnya diterima. Dan yang diperjuangkan pun merupakan hal dasar. Seperti hak untuk mendapat pendidikan, berpolitik, hak untuk sama dimata hukum, hak mendapatkan perlakuan yang adil di dunia kerja, dan hak-hak lain yang telah diberangus.
Tidak dapat dipungkiri, memang sampai saat ini, perempuan masih merupakan subordinat dari kaum pria. Haknya masih dibatasi, dengan alasan ajaran agama. Aliran feminis tidak pernah mengajarkan perempuan untuk tidak melahirkan, untuk tidak melupakan kodratnya sebagai seorang ibu, yang alpa untuk mengajarkan anak-anaknya.
Selain itu, di sisi lain, perempuan masih saja dijadikan obyek seksual oleh kaum pria, dijadikan obyek hinaan dalam bentuk meme, yang sangat merendahkan harkat dan martabat perempuan sebagai manusia yang seutuhnya, dianggap tidak memiliki potensi sebaik kaum pria, dan yang paling terlihat jelas, perempuan masih dijadikan obyek komersil bagi perusahaan-perusahaan besar untuk meraup keuntungan.
Dengan berpikir bahwa feminisme merupakan aliran barat yang dapat merusak moral, maka secara logika, semua yang datang dari barat seharusnya juga ditolak kan? Tidak seperti itu, semua hal yang datang dari barat, bisa kita terima, jika memang secara logika dapat berterima, dan kita juga harus bersikap kritis terhadap hal tersebut. Yang jadi masalah adalah, masyarakat kita masih banyak yang mudah terpengaruh, tanpa mempelajarinya terlebih dahulu dengan membaca dari berbagai macam sumber.
berbicara mengenai peringatan Hari Kartini, bukankah lebih bermakna jika yang diperingati lebih kepada mengenai idealismenya mengenai kebebasan kaum peremuan? Seperti mensosialisasikan kepada masyarakat, terutama anak-anak sekolah, mengenai perjuangan wanita hebat itu untuk bisa keluar dari kekangan terhadap hak-hak perempuan. Jadi, jika sudah mengerti mengenai Hari Kartini yang sesungguhnya, untuk jawaban anak-anak SD mengenai pertanyaan di buku pelajaran Bahasa Indonesia mengenai, ibu bekerja di…., jika jawaban anak tersebut bekerja di kantor, tidak bijaksana jika disalahkan. Apa ibu bekerjanya hanya di dapur?
Berikut merupakan salah satu surat Kartini mengenai pendidikan kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901 :
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”
Semoga di hari yang baik ini, kita bisa lebih bijaksana dalam menghadapi semua hal. Selamat Hari Kartini/Hari Perempuan Indonesia. (Saras)
Sumber kutipan : uniqpost.com