Full day school sejatinya bukan istilah baru dalam dunia pendidikan. Sekolah Islam Terpadu (SIT) sudah jauh menerapkannya diawal 2000-an. Kini Mendikbud melemparkan wacana full day school ke publik sebagai “terapi” mengatasi kenakalan remaja dan prilaku asusila selepas pulang sekolah.
Banyak pengamat dan praktisi yang berpolemik, mereka yang mendukung beranggapan bahwa model ini (full day school-red) memudahkan orangtua urban (ayah dan ibu yang bekerja ) dalam mendidik, sehingga keluarga urban tidak memerlukan lagi asisten rumah tangga. Lebih jauh orangtua lebih nyaman dalam bekerja. Sementara mereka yang menolak menganggap beban anak dalam belajar makin meningkat dan menyebabkan kesulitan dalam hal tugas perkembagan anak dalam interaksi sosial.
Kedua argumen tersebut dapat diterima dan juga ditolak jika kita menilik bagaimana sekolah berkonsep Islam Terpadu menerapkan full day school. Publik dapat melakukan komparasi dan menjadikan SIT sebagai role model (sekolah islam terpadu yang resmi dibawah naungan Jaringan Sekolah Islam Terpadu). Setidaknya ada empat pilar SIT dalam menerapkan full day school dalam kegiatan pembelajaran.
- Guru Kredibel dan Teladan
Kita semua sepakat bahwa guru adalah ujung tombak pendidikan formal, meski peran guru kini dikoreksi menjadi mediator dan motivator, tapi tidak sedikit pun mengurangi peran guru sebagai figur dan inspirator bagi siswanya. Sehingga guru berperan ganda sebagai insipirator sekaligus mentor, sehingga kapan pun, dimana pun dan bagaimana pun kondisinya siswa dapat curhat dan berlama-lama dengan gurunya tanpa rasa bosan. Kehadiranya begitu dinantikan dan ketiadaanya begitu dirindukan. Anak segan kepada bapak/ibu gurunya bukan ditakuti, karena mereka merasa di sekolah ada figur pengganti orangtua atau kakak mereka.
- Pendidikan Adab dan Karakter
Dalam lembaga pendidikan Islam terpadu, semua warga sekolah, dari guru sampai siswa berkomitmen menjaga adab dan membangun karakter menjadi keseharian, mulai adab berbicara, makan, berpakaian, lebih jauh adab beribadah. Ada istilah adab sebelum ilmu, itulah yang diterapkan sehingga ketika ilmu itu sampai seorang alim (yang berilmu/ilmuwan) dapat menggunakan ilmu dengan beradab. Tidak aneh apabila komitmen ini menjadikan sekolah laksana pesantren dalam skala kecil.
Salah satu pendidikan karakter yang diajarkan adalah kegiatan layan diri (mencuci tempat makan sendiri, merapikan sepatu, dan menyapu), budaya mengantre dan belajar itsar (mendahulukan kepentingan orang lain dari diri sendiri dalam urusan dunia).
- Formulasi kurikulum
Sebagian besar SIT menginduk ke Depdikbud (SD- SMA/SMK), meski ada sebagian kecil yang ke Depag (MI – MA), karena itulah SIT memadukan kurikulum nasional dan internalnya sehingga menjadi jawaban bagi para orangtua yang ingin putra/i nya paripurna dalam hal keilmuan, atau istilahnya cerdas cendekia. Siswa tidak bosan karena pembelajaran ko-kurikuler dikemas sedemikan rupa, bahkan Penugasan Terstruktur (PR) tidak ditekankan untuk diberikan, sehingga waktu di rumah menjadi tempat untu bercengkerama antara anak dan orangtua. Muatan internal yang ada biasanya yakni Pelajaran Agama Islam, yang di sekolah umum hanya 2 jam, SIT 4 jam, Kegiatan Tahfidzul Quran 4 jam, Kegiatan Mentoring, sehingga inilah jawaban untuk Mendikbud akan kenakalan remaja dan perilaku asusila, seorang anak yang senantiasa menghafal Quran sulit rasanya berbuat amoral, ditambah aktivitas mentoring Al-Quran senantiasa dalam hati dan pikiranya.
- Inovasi Pembelajaran
Anak-anak umumnya merasa jenuh dengan metode yang sama, mungkin inilah yang dialami para orangtua dulu ketika sekolah di SDN-SMAN. Rasanya waktu lima jam (07.00-12.00) sangat lama, maka menjadi tak aneh ketika guru tidak hadir. Sekolah haruslah menjadi laboratorium, sehingga setiap sudutnya merupakan tempat untuk belajar, itulah mengapa kelas bukan satu-satunya tempat untuk belajar. Siswa dapat belajar di bawah pohon, masjid, kantin, bahkan terjun ke masyarakat. Kegiatan pembelajaran pun dapat dikemas secara tematik seperti market day, english day, kegiatan Jumat bersih, dan ditambah ekstrakurikuler yang menarik, inilah yang membuat siswa SIT merasa betah dan berlama-lama di sekolah.
Proses pendidikan yang menjadikan siswa berkarakter atau pendidikan berbasis akhlaq mulia bukan hanya tanggung jawab sekolah semata, pendidikan karaker sejatinya dimulai dari keluarga sebagai sebuah organisasi, dimana ayah sekaligus berperan menjadi kepala sekolah.
Oleh : Hafiz Muhazir