infobekasi.co.id – Kata Api dalam sejarah bangsa ini sering disematkan pada salah seorang proklamator dan salah satu tokoh bangsa yaitu Soekarno. Beragam nyala ”Api” Soekarno untuk bangsa telah dipancarkan. Pidato Soekarno yang ”Berapi-api” menjadi virus yang menyuntikkan semangat mencapai Indonesia Merdeka untuk selama-lamanya”.
Soekarno juga pernah menyampaikan pernyataan “Jangan mewarisi abu itu, tetapi warisilah api daripada Sumpah Pemuda ini”. Pernyataan ini disampaikan dalam konteks peringatan Soempah Pemoeda yang menegaskan bahwa Soempah Pemoeda itu harus terus diwariskan dan menjadi suluh para pemuda dalam membangun Indonesia.
Menyalakan api cahaya Ramadan dan Idulfitri dalam realitas kehidupan menjadi tuntutan yang menyatu dalam diri setiap manusia mukmin yang baru saja menyelesaikan ibadah Ramadan dan Shalat Idulfitri. Jangan mewariskan abu Ramadhan dan Idulfitri dalam gerak langkah perjalanan manusia mukmin setelah secara periodik berada dalam bulan Ramadhan.
Istilah yang sering kita dengar yaitu jangan menjadi ramadhaniyyin yaitu orang yang menunjukkan kesalehan yang tinggi hanya pada bulan Ramadan sementara setelah bulan Ramadhan itu kesalehannya menjadi hal yang terlepas dari pribadi yang melaksanakan ibadah ramadhan.
Peristiwa ramadan janganlah dijadikan sebagai fenomena seremonial tahunan an sich melainkan sebagai aktivitas keagamaan yang memberikan pancaran api cahaya ramadhan yang berkelanjutan dalam gerak langkah setiap mukmin yang setiap tahunnya mengalami “recharging” diri. “Recharging” merupakan bentuk kata kerja “to recharge” dalam bahasa Inggris yang berarti sebuah proses “pengisian ulang”.
“Recharge” dalam ibadah dapat diartikan sebagai proses mengisi ulang energi, baik secara fisik maupun mental. Istilah ini sering digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan cara manusia memulihkan tenaga dan semangat kesalehan nya secara berkelanjutan baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial sepeeti yang terkandung dalam ibadah ramadhan dan idulfitri.
Bulan suci Ramadan yang telah berakhir dan tuntas sejak 30 Maret 2025 ditutup serta menjadi awal bulan syawal dengan ibadah sholat idul fitri merupakan kegiatan yang sudah semestinya tidak menjadi fenomena tahunan dan insidental.
Perilaku kesalehan yang kita lakukan selama Ramadhan sebagai bulan yang penuh rahmat ini tak harus selesai sebatas bulan sarat ampunan itu. Di luar Ramadan ini, kesalehan tersebut harus tetap terjaga sebagai dampak positif terhadap pembangunan mentalitas dan perilaku keislaman yang dibentuk selama ramashan.
Membumikan Api Cahaya Ramadhan dan Cahaya Idulfitri dalam Realitas Kehidupan. Ramadan dan Idulfitri adalah dua momentum spiritual yang membawa cahaya bagi kehidupan manusia, baik secara individu maupun sosial.
Ramadan bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tetapi juga proses penyucian jiwa dan peningkatan kualitas spiritualitas.
Adapun Idulfitri, yang menandai berakhirnya Ramadhan, bukan hanya perayaan kemenangan, tetapi juga simbol kembalinya manusia pada fitrah, yaitu kesucian hati dan kebersihan jiwa.
Membumikan cahaya Ramadhan dan cahaya Idulfitri dalam realitas kehidupan berarti menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya agar tidak hanya berhenti sebagai tradisi tahunan, tetapi benar-benar menjadi prinsip hidup sehari-hari.
Membumikan api cahaya Ramadan dan cahaya Idulfitri dalam realitas kehidupan sosial dan kebangsaan menjadi hal yang amat mendasar bagi setiap insan muttaqien yang telah mengikuti proses pembelajaran di madrasah Ramadhan dengan kurikulum yang integralistik dan holistik.
Hal tersebut juga merupakan dampak positif dan suatu konsekwensi logis yang sudah semestinya ditampilkan dari setiap insan shoimin (orang yang berpuasa) secara berkelanjutan dalam realitas kehidupan keseharian.
Beberapa makna kandungan Ramadan:
1. Membumikan Api Cahaya Ramadhan sebagai Transformasi Spiritual dan Sosial
Ramadhan adalah bulan evaluasi, refleksi dan perbaikan diri. Puasa yang dijalankan menjadi ajang evaluasi, melatih kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian diri. Namun, lebih dari itu, Ramadhan juga mengajarkan pentingnya empati dan kepedulian sosial.
Dalam realitas kehidupan, nilai-nilai Ramadhan dapat membentuk karakter unggul setiap individu yang mengerjakannya dalam berbagai aspek, antara lain:
• Membentuk Kesabaran dan Pengendalian Diri: Dalam menghadapi berbagai ujian dan tantangan hidup, seseorang yang telah menjalani dan lulus dari madrasah Ramadhan dengan penuh kesadaran akan lebih mampu mengelola emosinya dengan baik.
• Menunjukkan Empati dan Solidaritas Sosial: Puasa ramadhan mengajarkan manusia untuk merasakan penderitaan yang terjadi pada mereka yang kurang beruntung, sehingga hal itu dapat menumbuhkan kepedulian sosial terhadap sesama dan semangat berbagi.
• Membangun Kejujuran dan Integritas: Puasa ramadhan yang dijalani dengan penuh keikhlasan akan menumbuhkan kesadaran sosial untuk selalu berkata dan bertindak jujur dan berintegritas tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
• Mengokohkan Ketahanan Mental dalam Era Digital: Di tengah arus derasnya informasi yang tak terbatas, masuk dengan begitu mudah dan sering kali tidak terfilter dengan baik, nilai-nilai ibadah Ramadhan dapat membentuk ketahanan mental individu yang kuat dan cerdas terhadap serangan hoaks, ujaran kebencian, dan konten negatif yang muncul di media sosial. Dengan demikian dampak ibadah ramadhan harus dapat mengevaluasi dan menyeleksi informasi dan berita yang dibawa dunia digital
2. Membumikan Api Cahaya Idulfitri sebagai Ranah Kembali pada Kesucian dan Harmoni Sosial
Idulfitri adalah momen kemenangan setelah kaum beriman memenangkan perjuangan di bulan Ramadhan. Namun, kemenangan ini tidak hanya bermakna secara individual, tetapi juga bermakna sosial. Idulfitri mengajarkan makna persaudaraan, persatuan, dan rekonsiliasi sosia pada diri setiap individul. Dalam realitas kehidupan, nilai-nilai Idulfitri dapat diterapkan melalui:
• Memperkuat Silaturahmi dan Memberi Maaf: Idulfitri menjadi momen penting untuk memperbaiki hubungan sosial yang retak karen berbagai sebab dan memperkuat jalinan persaudaraan. Mengunjungi secara offline dalam jalinan silaurahmi menjadi hal yang esensial dalam memrkokoh relasi insaniyah yang diikuti dengan langkah saling memaafkan. Dalam konteks era digital, bila tidak memungkinkan secara offline, silaturahmi tetap berjalan dan dapat dilakukan dengan lebih mudah melalui berbagai platform digital secara online sebagai alternatif. Artinya hal yang utamanya adalah jalinan silaturahmi tetap terjaga meski dilaksanakan secara online.
• Memaafkan dan Menghapus Rasa Dendam: Kembali ke fitrah berarti setiap individu harus membersihkan hati dan jiwanya dari rasa dendam dan kebencian, serta membuka ruang dan lembaran baru dalam hubungan dengan sesama, terutama dalam dinamika sosial yang semakin kompleks di era modern. Moment idulfitri menjadi lembaran kertas outih suci bagi setiap individu dalam melangkah kehidupan ke depan.
• Menjaga Kesucian Hati di Dunia Digital: Idulfitri mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan hati dan mental dalam interkasi sosial, termasuk dalam perilaku online, seperti menghindari perdebatan yang tidak produktif di medi sosial, menyebarkan kebaikan, dan menginspirasi sesama dengan best practice dan future practice setiap individu melalui media sosial dan platform digital.
3. Implementasi Api Cahaya Ramadhan dan Idulfitri dalam Kehidupan Sehari-hari
Agar api cahaya Ramadhan dan Idulfitri benar-benar tetap menyala dan membumi dalam kehidupan nyata, diperlukan upaya nyata setiap individu mukmin yang telah melaksanakan ibadah ramadhan dengan mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam ramadhan dan idulfitri tersebut secara konsisten dan berkelanjutan dalam gerak dinamika kehidupan manusia, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa secara harmonis dan produktif.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan antara lain:
• Menjadikan Keikhlasan dan Kesabaran sebagai pilar Kehidupan: Menjalani hidup dengan penuh kesabaran dan keikhlasan, sebagaimana didik dan dilatih selama pembelajaran di sekolah/madrasah Ramadhan.
• Memperkuat Budaya Berbagi dan Gotong Royong: Kegiatan berbagi dan gotong royong hendaknya tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan, tetapi sepanjang tahun, semangat berbagi dengan sesama harus terus dijaga, terutama dalam konteks gerakan filantropi sosial berbasis teknologi digital.
• Menghidupkan Nilai Kejujuran dan Integritas: Dalam dunia kerja, bisnis, dan kehidupan sosial, menjunjung tinggi kejujuran dan integritas adalah kebutuhan mutlak sebagai bentuk nyata dari internalisasi nilai Ramadhan. Tidak mau berbuat korupsi dari ukuran kecil apalagi yang besar menjadi bagian penting pengendalian diri seseorang sebagai dampak yang harus ditunjukkan dari kegiatan ramadhan.
• Menjaga Silaturahmi dan Harmoni Sosial: Menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, sahabat, dan masyarakat, serta menghindari konflik sosial yang tidak perlu, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam interaksi digital. Membangun kehidupan dengan dasar harmonis sosial menjadi hal penting yang harus dilakukan setiap individu yang telah menjalani ibadah ramadhan terutama dalam konteks berpuasa.
• Menggunakan Teknologi Digital untuk Menebar Kebaikan dan Kemaslahatan: Di era digital, nilai-nilai kebaikan yang ditimbulkan dari Ramadhan dan Idulfitri dapat diterapkan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk menebarkan pesan kebaikan, positif, dan konstruktif untuk memperkuat solidaritas sosial, dan meningkatkan literasi digital yang beretika.
Kesimpulan
Menghidupkan esensi api cahaya Ramadhan dan Idulfitri dalam realitas kehidupan manusia secara berkelanjutan berarti menerapkan nilai-nilai spiritual, sosial, dan moral yang terkandung di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari. Ramadhan bukan hanya latihan fisik jasmani, tetapi juga penyucian jiwa, peningkatan ketakwaan, penguatan mental dan solidaritas sosial.
Sementara itu, Idulfitri juga bukan hanya sekadar perayaan kemenangan seremonial, tetapi juga momentum rekonsiliasi dan komitmen sosial untuk mempertahankan kebaikan yang telah dibangun selama Ramadhan dalam bangunan tatanan sosial yang kokoh dan harmoni. mewujud menjadi umat dan bangsa yang harmonis, damai, dan sejahtera dan baldatun thayyibatun wa raabun ghafur akan nyata di bumi Pancasila ini.
Membumikan api cahaya Ramadhan dan cahaya Idulfitri dalam realitas kehidupan berarti menjadikan nilai-nilai spiritual dan moral yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Ramadhan mengajarkan kesabaran, empati, dan kejujuran, sedangkan Idulfitri mengajarkan makna kesucian, persaudaraan, dan harmoni sosial. Dalam konteks kekinian, nilai-nilai ini semakin relevan dan signifikan dibutuhkan dalam menghadapi tantangan yang tidak ringan di era digital dan global.
Penulis: Abdul Rozak