Kesehatan Mental dalam Profesi Diplomat: Menakar Risiko dan Tanggung Jawab Sistemik

Infobekasi.co.id – Kematian seorang diplomat Kementerian Luar Negeri, ADP berusia 39 tahun, yang dikonfirmasi Polda Metro Jaya sebagai kasus tanpa keterlibatan pihak lain, menyoroti isu krusial tentang kesehatan mental dalam profesi menuntut dedikasi tinggi, namun seringkali mengabaikan kesejahteraan personal.

Hasil asesmen psikologis forensik oleh Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia (Apsifor) mengungkapkan bahwa ADP meskipun dikenal sebagai individu yang bertanggung jawab dan pekerja keras, mengalami burnout akibat tekanan kerja berkepanjangan dan kesulitan mengekspresikan emosi negatif.

Kasus ADP adalah alarm yang tak boleh diabaikan. Ia mewakili banyak individu dalam sistem yang menuntut kekuatan tanpa menyediakan ruang untuk kelemahan.

Profesi diplomatik memang sarat dengan beban psikologis. Para diplomat menghadapi tuntutan relokasi yang sering, adaptasi lintas budaya yang kompleks, tekanan diplomatik yang tinggi, dan potensi trauma di zona konflik. Hal ini diperparahbeban hidup di dalam negeri, termasuk penghasilan yang relatif rendah dibandingkan dengan fasilitas diterima saat bertugas di luar negeri, serta tuntutan gaya hidup tertentu di lingkungan kerja.

Sebuah kajian sistematis menunjukkan, bahwa respons psikologis diplomat terhadap trauma mirip dengan pekerja profesional lain yang terekspos risiko tinggi (Brooks et.al., 2023), sementara studi lain menyimpulkan bahwa kualitas hidup diplomat sangat dipengaruhi stres pekerjaan, mobilitas tinggi, dan sumber daya coping yang terbatas (Fliedge et.al., 2016).

Burnout, sebagaimana didefinisikan oleh WHO International Disease Classification (ICD-11), ditandai dengan energi menipis, jarak mental dari pekerjaan, sinisme, serta menurunnya efikasi profesional. Maslach menjabarkan tiga dimensi utama burnout, kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan prestasi diri.

Ketiga aspek ini diperparah oleh lingkungan kerja yang tidak suportif dan berorientasi pada pencitraan, di mana isu kesehatan mental sering diabaikan atau dianggap tabu.

Tragedi ini memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah, khususnya dalam pengelolaan sumber daya manusia di bidang diplomasi. Kesehatan mental bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab sistemik. Sistem yang kaku dan minim empati, lingkungan kerja yang abai, dan budaya diam melarang ekspresi kelemahan, semuanya berkontribusi pada risiko burnout dan gangguan psikologis.

Oleh karena itu, diperlukan reformasi kebijakan yang berpihak pada kesehatan mental, termasuk menyediakan layanan konseling, pelatihan manajemen stres, dan kepemimpinan yang humanis.

Kesehatan mental bukan sekadar urusan pribadi, melainkan tanggung jawab kolektif terutama bagi institusi yang menempatkan individu dalam tekanan luar biasa. Saatnya negara hadir, bukan hanya dalam bentuk aturan, tetapi dalam wujud empati yang nyata.

Kasus ADP menjadi pengingat penting bahwa di balik senyapnya tugas negara, terdapat jiwa-jiwa menanggung beban tanpa suara. Akses mudah terhadap layanan kesehatan mental, termasuk konseling dan program psikoedukasi, menjadi kebutuhan mendesak untuk mencegah tragedi serupa terulang. Perubahan sistemik, bukan hanya solusi individual, adalah kunci untuk melindungi kesejahteraan para diplomat dan individu-individu bekerja dalam profesi berisiko tinggi.

Penulis : Muhammad Iqbal, Ph.D Psikolog, Assoc. Prof Universitas Paramadina/Pernah bekerja di KBRI Kuala Lumpur

Editor : Dede Rosyadi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini