infobekasi.co.id – Krisis air bersih melanda sebagian wilayah Indonesia, termasuk di Kota dan Kabupaten Bekasi. Bahkan pihak Pemkab Bekasi memperpanjang masa darurat bencana kekeringan hingga 14 hari ke depan.
Air bersih sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Kebutuhan sehari-hari, untuk mandi, mencuci, memasak, hingga memenuhi kebutuhan hidrasi tubuh.
Di masa depan, kelangkaan air bersih diprediksi akan terjadi di seluruh belahan dunia, bukan hanya di Indonesia saja.
Mengutip dari laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), beberapa wilayah di Indonesia, seperti Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan bakal mengalami krisis air bersih di tahun 2045.
Di Jawa dan Bali, ketersediaan air bersih akan memasuki status langka hingga kritis di sebagian besar wilayah pada tahun tersebut.
Data itu menunjukkan bahwa proporsi luas wilayah krisis air akan meningkat dari 6 persen di 2000 dan menjadi 9,6 persen pada 2045.
Bahkan diperkuat data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada 2020. Menurut data BPS, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia pada 2035 hanya akan tersisa 181.498 meter kubik.
Ada beberapa hal yang membuat air bersih menjadi langka seperti dilansir national geografhic, bahwa laporan Panel Antar-pemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC), perubahan iklim sudah tidak terkendali menjadi salah satu penyebabnya.
Tak menentunya musim, membuat siklus air di Bumi berubah sehingga kekeringan berkepanjangan terjadi di sejumlah wilayah.
Selain disebabkan oleh perubahan iklim, krisis air juga dipicu oleh meningkatnya kebutuhan air yang tidak diimbangi dengan upaya penyediaan suplai air secara berkelanjutan
Tahun 2050, jumlah penduduk bumi diperkirakan bertambah menjadi 9,4 miliar sampai 10,2 miliar jiwa.
Dengan pertambahan itu, kebutuhan air diperkirakan meningkat 20 persen dari 4.600 kilometer kubik menjadi 5.500 sampai 5.000 kilometer kubik.
Masalahnya, dari total jumlah air di dunia, survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebutkan bahwa sebanyak 96,5 persennya adalah air laut. Sisanya adalah air asin (saline water) sebesar 0,9 persen dan air tawar 2,5 persen.
Dari air tawar itu, hanya air permukaan sebesar 1,2 persen dan air tanah sebesar 30,1 persen yang dapat digunakan manusia. Sebanyak 68,7 persen sisanya tersimpan dalam gletser dan bongkahan es.
Penggunaan air tanah menjadi praktik yang banyak ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Akan tetapi, pemakaian air tanah dinilai akan membawa banyak masalah terhadap kelestarian lingkungan.
Dilansir dari Ground Water, penyedotan air tanah yang berlebihan tanpa pengawasan dapat mengakibatkan penurunan tanah hingga kontaminasi saline water di sekitar area pantai.
Untuk menyiasati penggunaan air tanah yang berlebih, air laut bisa diolah menjadi air bersih melalui desalinasi. Namun, belum semua negara memiliki teknologi untuk melakukan hal tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya lain untuk dapat melestarikan ketersediaan air bersih di masa depan jika tidak mau kekeringan melanda dunia.
Editor : Dede Rosyadi