Fenomena Flexing, Ketika Pamer Kekayaan Menjadi Tren di Era Digital

Infobekasico.id – Di tengah hiruk pikuk media sosial, istilah flexing kian populer. Fenomena ini merujuk pada tindakan memamerkan harta, gaya hidup mewah, atau pencapaian pribadi di hadapan publik, terutama melalui platform digital. Bukan sekadar tren, flexingkini menjadi sorotan karena dampak yang ditimbulkannya.

Secara etimologi, kata flexing berasal dari bahasa Inggris, flex, yang berarti melenturkan atau memamerkan otot. Namun, dalam konteks media sosial, maknanya bergeser menjadi tindakan menunjukkan barang mahal atau kemewahan untuk dianggap terkesan di mata orang lain.

Dikutip infobekasi, menutut definisi Urban Dictionary, mengaitkan flexing dengan kebiasaan memamerkan kekayaan berupa barang branded, mobil mewah, rumah megah, atau gaya hidup hedonis (kemewahan).

Istilah flex sebenarnya telah populer dalam budaya hip-hop di Amerika Serikat sejak akhir 1980-an hingga 1990-an, di mana para rapper menggunakannya untuk menandai kekuatan atau status sosial. Seiring dengan pesatnya perkembangan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube, flexing berevolusi menjadi perilaku pamer harta atau pencapaian di ruang digital semakin masif.

Beragam Bentuk “Flexing. Fenomena flexing hadir dalam berbagai rupa, yakni:

– Flexing Kekayaan: Memamerkan barang-barang mewah seperti gadget terbaru, mobil mewah, atau rumah megah. Contohnya adalah unggahan foto dengan tas seharga ratusan juta atau liburan ke luar negeri.

-Flexing Gaya Hidup: Menunjukkan aktivitas eksklusif, seperti bersantap di restoran mahal, bersantai di lounge premium, atau menginap di hotel bintang lima.

-Flexing Pencapaian: Tidak melulu soal materi, “flexing” juga bisa berupa pamer prestasi akademik, karier, atau status sosial.

-Flexing Relasi: Memamerkan kedekatan dengan tokoh terkenal, pejabat, atau selebritas untuk menunjukkan status sosial.

Fenomena flexing memiliki dampak yang kompleks. Di satu sisi, bagi sebagian orang, melihat kesuksesan orang lain dapat menjadi motivasi untuk bekerja lebih keras. Bagi influencer atau pebisnis, flexing bahkan bisa menjadi strategi personal branding untuk membangun citra sukses dan kredibilitas.

Namun, di sisi lain, dampak negatifnya tak kalah signifikan. Flexing dapat mendorong gaya hidup konsumtif, di mana banyak orang terdorong membeli barang mahal demi gengsi, bukan kebutuhan.

Dari data penelitian psikologi (Journal of Social and Clinical Psychology, 2018) juga menunjukkan bahwa, paparan berlebihan terhadap pamer di media sosial dapat memicu iri hati dan menurunkan kepuasan hidup. Lebih jauh, flexing juga kerap menyeret pelakunya ke masalah hukum, terutama jika gaya hidup mewah tidak sesuai dengan penghasilan resmi dan dicurigai berasal dari tindak pidana.

Di Indonesia, fenomena flexing semakin ramai diperbincangkan, terutama setelah sejumlah kasus publik figur atau pejabat kedapatan memamerkan harta di media sosial. Kasus pegawai pajak viral karena gaya hidup mewahnya, misalnya, memicu kritik publik terkait transparansi kekayaan pejabat.

Selain itu, banyak influencer dan selebgram yang menjadikan kemewahan sebagai konten utama untuk menarik pengikut, memperkuat narasi bahwa media sosial adalah arena pertunjukan status dan gaya hidup.

Kesimpulannya, flexing menjadi sebuah cerminan kompleks dari interaksi manusia dengan media sosial. Meskipun dapat menjadi motivasi dan strategi branding, praktik ini juga berisiko menimbulkan masalah psikologis, sosial, bahkan hukum, menunjukkan bahwa di balik layar kemewahan, ada dinamika sosial perlu dicermati.

Esitor: Dede Rosyadi

#Flexing #Infobekasi #GayaHidup

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini