Infobekasi.co.id – Dulu, para petani di berbagai daerah di Indonesia bisa dengan mudah menandai datangnya musim hujan. Biasanya, akhir tahun seperti Oktober hingga Desember menjadi penanda pasti turunnya hujan. Di kampung-kampung, para orang tua bahkan hafal jadwal langit menurunkan airnya.
Namun kini, pola itu berubah. Terkadang hujan turun di bulan yang biasanya kering. Kadang sebaliknya: bulan yang dulu dikenal sebagai musim basah, kini malah panas menyengat tanpa setetes air pun. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi ?.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), perubahan ini bukan sekadar anomali tahunan, melainkan bagian dari pola perubahan iklim global yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam sejumlah pernyataannya mengungkap, perubahan cuaca ekstrem dan bergesernya musim merupakan efek langsung dari peningkatan suhu bumi.
“Musim hujan dan kemarau kini tidak lagi berlangsung normal. Terjadi pergeseran waktu dan intensitas yang sulit diprediksi secara lokal tanpa data satelit,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Perubahan siklus iklim seperti El Nino dan La Nina juga menjadi salah satu penyebab utama mengapa musim hujan tak lagi hadir sesuai jadwal lama. El Nino, misalnya, menyebabkan cuaca lebih panas dan musim kemarau lebih panjang, sedangkan La Nina justru memicu curah hujan lebih tinggi.
Tahun 2023-2024 menjadi salah satu contoh nyata, di mana El Nino kuat membuat sebagian besar wilayah Indonesia mengalami kemarau panjang, bahkan kekeringan parah di beberapa tempat.
“Dulu orang percaya bulan ‘ber’ artinya pasti hujan. Tapi sekarang itu tidak lagi berlaku karena iklim tidak lagi stabil seperti dulu,” tutur Dr. Erma Yulihastin, peneliti klimatologi BRIN dikutip infobekasi.
Perubahan iklim yang terjadi global turut berdampak besar terhadap sistem atmosfer dan curah hujan di Indonesia. Pemanasan global, yang dipicu emisi karbon dari industri dan kendaraan, membuat lapisan atmosfer bumi lebih panas dan mengganggu sirkulasi angin serta penguapan air laut memicu hujan.
Data dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukkan bahwa kawasan tropis seperti Indonesia akan mengalami intensitas hujan yang lebih ekstrem, tapi waktunya tidak menentu.
“Musim tetap ada, tapi tanda-tandanya tidak lagi seperti dulu. Kalau dulu hujan pertama ditandai suara kodok dan semilir angin basah, sekarang kadang hujan langsung deras tanpa peringatan,” jelas Mugeni, petani padi di Bekasi, mengenang masa kecilnya.
Perubahan musim ini berpengaruh pada banyak sektor: pertanian jadi lebih sulit memprediksi masa tanam, masyarakat kesulitan merencanakan aktivitas, hingga risiko banjir dan kekeringan meningkat. Bahkan kalender tanam nasional pun kini harus terus diperbarui berdasarkan pemantauan real-time.
BMKG mengimbau masyarakat untuk tidak lagi berpatokan pada kalender tradisional, melainkan rutin memantau informasi cuaca melalui aplikasi dan kanal resmi mereka.
Kini, musim tidak bisa lagi diduga hanya dengan melihat bulan. Yang bisa kita lakukan adalah menyesuaikan diri, meningkatkan literasi iklim, dan memperkuat ketahanan lingkungan. Karena langit memang tak lagi seakrab dulu.
Deros / infobekasi
#FenomenaHujan #infobekasi #Hujan #cuaca