Pernahkah anda mendengar kisah tentang rambut gembel (gimbal)? Rambut gembel merupakan rambut yang dimiliki oleh anak-anak bajang di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah. Tidak semua anak-anak di Dieng memiliki rambut gembel ini. Hanya mereka yang merupakan titisan dari leluhurlah yang memilikinya. Setidaknya itulah yang dipercaya oleh masyarakat setempat.
Naryono (Mbah Modin), yang merupakan anak bajang, dan saat ini merupakan pemuka adat di Dieng bercerita kepada Liputan6.com. Pada 60 tahun silam, tepatnya pada 1956, rambut gembelnya dipotong oleh Mbah Modin saat usianya masih 5 tahun. Namun sudah menjadi kewajibannya sekarang untuk memotong rambut gembel dari anak-anak bajang, dan ini dilakukan tiap satu tahun sekali.
Rambut gembel ini merupakan ciri khas Dieng, dan mengapa disebut sebagai titisan dari leluhur? Mbah Modin mengatakan bahwa ini merupaka cerita dari sesepuh-sesepuh kampung, dan musababnya, ciri fisik muncul begitu saja.
Prapto Yuwono, pengajar di Program Studi Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, menerangkan fenomena kemunculan anak gimbal tak pernah jelas diketahui warga. Ia menyebut tak ada catatan historis yang menuliskan sejak kapan anak-anak berambut gimbal itu ada di Dieng. Apalagi kemunculan rambut gimbal itu terjadi saat anak berusia antara 1 hingga 3 tahun. Bagi Prapto, fenomena tersebut menghadirkan sebuah pemahaman tersendiri bagi masyarakatnya, yakni sebagai tanda untuk setia menjaga akar tradisi. “Kalau tak diurus akan terjadi berbagai hal,” kata Prapto Senin (22/08).
Tak jelasnya asal-usul keberadaan anak bajang rupanya mengundang pertanyaan buat Suratsih, Veronika Hinuhili, dan Muhammad Lutfi Hidayat. Ketiganya akademikus dari FMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Mereka heran bagaimana fenomena ini muncul. Apalagi, rambut itu menggimbal secara alami. Suratsih bersama tim dari UNY kemudian meneliti proses genetika dalam fenomena tersebut. Suratsih mengatakan bahwa fenomena rambut gimbal di Dieng tidak ujug-ujug hadir. Ia bukan pula kejadian mistis seperti yang umumnya dipercaya masyarakat Dieng. “Itu pewarisan genetik,” ucap Suratsih.
Pendapat ini dikemukakan setelah dia bersama tim melakukan riset di Kelurahan Selomerto, Karangkobar, Wonosobo, pada 2008. Daerah tersebut berjarak 33,5 kilometer dari Dieng Kulon, tempat Naryono tinggal. Tapi, dua daerah itu masuk dalam dataran Dieng. Awalnya, riset dilakukan sekadar untuk membuat modul pembelajaran mata kuliah genetika. Toh, Suratsih mengaku, fenomena tersebut membuatnya tertarik. Barang tentu, kata dia, lantaran fenomena itu bisa dijelaskan secara ilmiah. Hasil studi yang dilakukan Suratsih dan tim dipublikasikan dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan pada Juni 2009.
dalam riset tersebut, Suratsih dan tim mengidentifikasi fenomena lahirnya rambut gimbal sebagai hasil ekspresi genetika. Ekspresi ini tak lepas dari pewarisan sifat orangtua si anak. Hasil yang ditemukan tak begitu mencengangkan. Asumsi dasar yang mereka jadikan aksioma pun tak terbantahkan.
“Dari hasil penelitian diperoleh informasi yang dapat dibuat sebuah klasifikasi data berdasarkan konsep yang diperlukan untuk menganalisis kasus rambut gembel, bahwa fenomena tersebut merupakan salah satu pewarisan gen,” tulis tim UNY dalam hasil penelitian berjudul Pengembangan Modul Penelitian Pembelajaran Genetika Berbasis Fenomena Lokal.
Mbah Modin hanya bisa tersenyum. Dia teringat akan pengalaman dan kisah yang didengar dari pendahulunya. Sesepuh-sesepuh kampung kerap bercerita, anak-anak yang memiliki rambut gembel lahir dari orangtua yang semasa kecilnya memiliki rambut gimbal. Itu pun seperti yang dialami dirinya.
“Dulu saya dari tahun 1956, saya gembel, katanya dulu juga bapak saya gembel,” kata Naryono. (Adm)