Infobekasi.co.id – Di bawah tenda oranye digelar seadanya, seorang ibu paruh baya tampak cekatan membolak-balik adonan berbentuk cincin di dalam wajan besar berisi minyak panas.
Wajahnya penuh kesabaran, tangannya tak pernah ragu, sementara wangi karamel dari gula merah meleleh pelan-pelan memenuhi udara. Itulah kue jalabia, camilan tradisional Betawi semakin langka, namun masih eksis di sudut Bekasi.
Tak banyak yang tahu, kue jalabia merupakan kudapan khas yang telah lama menghiasi sore hari warga Bekasi. Terbuat dari tepung ketan, gula merah, dan sedikit santan, kue ini digoreng hingga berwarna cokelat gelap, renyah di luar, namun kenyal manis di dalam.
Di Jalan Raya Tambelang, tepatnya dekat Tugu Makmur, kue jalabia masih bisa ditemukan. Kabarnya pedagang ini sudah berjualan kue ini sejak lamata dari tahun ke tahun.
Ia membuat jalabia dengan cara tradisional. menumbuk tepung ketan sendiri, mencairkan gula merah dari blok asli, dan menggoreng di atas bara api dengan wajan besi tua. Tak ada takaran digital, hanya feeling dan pengalaman yang jadi alat ukur.
Meski bentuknya mirip donat, jalabia punya filosofi berbeda. Bentuknya yang bulat dengan lubang di tengah kerap dimaknai sebagai simbol keutuhan atau keberkahan dalam budaya Betawi. Kue ini biasa hadir dalam momen hajatan, khitanan, atau lebaran, menjadi pemanis di atas tampah bersama kue cucur dan geplak.
Jalabia kini mulai langka di kota besar. Namun, di sudut-sudut Bekasi seperti Tambelang, camilan ini masih dijajakan oleh generasi yang setia menjaga rasa dan tradisi. Mereka tak hanya berjualan makanan, tapi juga merawat sejarah dan budaya Betawi lewat tangan mereka sendiri.
Kue jalabia tak bersaing di media sosial, tapi bersaing di hati pelanggan yang rindu rumah. Rasanya tak bisa dibandingkan dengan donat modern atau dessert kekinian, karena jalabia menyajikan lebih dari rasa, ia menyuguhkan kenangan.
Reporter: Fahmi
Editor : D. Rosyadi
#Jalabia #Infobekasi #KulinerBekasi








































