
Menurut Resa, sebagai penggagas kegiatan tersebut, mengaku bahwa apa yang dilakukannya ini, berdasarkan pengalaman hidup yang pahit, karena harus tinggal di pinggiran TPST Bantargebang, yang kotor dan berbau busuk. Malah dirinya sempat menjadi cemooh orang-orang, karena tinggal dan menetap bersama kedua orangtuanya, yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung.
“Saya berinisiatif, anak-anak pemulung dapat berbahasa Inggris dengan baik, dan tidak dikucilkan karena tinggal di pinggiran sampah,” katanya.
Berdasarkan keingingan yang tinggi, Resa mengajak teman-temannya, yang sebagian besar adalah relawan, yang bernama James dan Jhon, dari PBB, untuk memberikan pelajaran percakapan Bahasa Inggris.
“Semua pengajar tidak dibayar, alias gratis. Anak-anak juga tidak dipungut biaya. Tiap Minggu mereka datang (James dan Jhon), dengan membawa teman-temannya yang lain untuk memberikan perhatian khusus kepada anak-anak pemulung ini,” ujar Resa.

“Saya pemalu. Tapi setelah ikut di sanggar, saya menjadi berani untuk menyapa orang, atau bule-bule yang datang ke sanggar itu. Kaya ‘How are you? Where are you from? My Name is Iin,” kata Iin.
James, salah seorang pengajar di sanggar tersebut, yang masih belum terlalu lancar berbahasa Indonesia, mengatakan sangat senang bisa mengajar mereka.
“Saya sangat senang bisa membantu anak-anak untuk belajar Bahasa Inggris. Saya juga sangat berterima kasih kepada Resa karena mau mengajak saya ke rumahnya untuk bertemu teman-teman baru di sini,” ujar James, yang berasal dari Inggris ini, Minggu (24/07).
Diketahui sebelumnya, Sanggar Satu Untuk Semua Foundation dibentuk sejak 2004, dan saat ini sudah berkembang. (Tio)