Salah satu pelayanan publik yang menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA). Pasalnya, lembaga KUA yang berada di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) ini sudah tiga kali mendapat nilai merah dalam rilis survei integritas pelayanan publik.
KUA dalam penilaiannya, selalu mendapatkan nilai di bawah standar minimal KPK, yang besaran angkanya 6. Sedangkan KUA, berdasarkan hasil survei integritas 214 hanya mendapatkan angka sebesar 5,47. Mengapa hal ini terjadi?
Pada PP yang baru, Nomor 19 Tahun 2015, salah satu poin mengenai tarif biaya nikah nampaknya memang perlu sekali untuk diketahui oleh masyarakat. Dalam peraturannya, jika seseorang ingin menikah di kantor KUA, maka biayanya adalah nol persen, alias gratis. Namun jika dilakukan di luar kantor KUA, maka akan dikenakan biaya sebesar Rp 600.000.
Seperti yang dikutip dari laman tirto.id, Selasa (06/09), pungutan liar yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab dari KUA masih saja banyak terjadi. Misalnya yang terjadi pada tetangga dari warga Purworejo, Jawa Tengah, yang berinisial F ini, IW dan BH. IW dan BH menikah pada awal Agustus lalu, dan mereka diharuskan untuk membayar uang administrasi sebesar Rp 1.000.000 pada penghulu, dan biaya yang seharusnya dikirimkan melalui rekening bank, mereka setorkan langsung ke penghulunya.
“Dana tersebut dibayar tunai ke penghulu yang menikahkan, tidak ditransfer melalui bank,” ujarnya.
Beda halnya dengan pengalaman Rifki. Saat mendaftarkan pernikahannya di salah satu KUA di Jakarta Timur pada 2014 lalu, ia harus mengeluarkan dana sebesar Rp700.000. Rp 600.000 ia bayarkan ke rekening bank, dan sisanya dibayar langsung di KUA sebagai biaya administrasi.
“Rp600.000 dibayar melalui bank, dan Rp100.000 dibayar langsung di KUA sebagai biaya administrasi,” katanya.
Namun, di beberapa daerah lain, seperti yang dialami Irawan Sapto Adhi, di KUA Banjarnegara, Jawa Tengah, dan Ali Ahmad Hamdani, di salah satu KUA di Semarang hanya cukup bayar Rp 600.000 melalui bank.
Melihat contoh di atas, setelah disahkannya PP yang mengatur soal biaya nikah, ternyata masih ada praktik pungutan liar di beberapa daerah. Namun, dari sisi jumlah berkurang jika dibandingkan dengan sebelum adanya PP No.48/2014 yang sudah direvisi menjadi PP No.19/2015.
Hal tersebut juga diakui oleh Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag, M. Jasin. Menurut dia, praktik korupsi, seperti gratifikasi masih terjadi di KUA. Karena itu, survei integritas pelayanan publik di Kemenag terkait dengan layanan publik diarahkan pada tiga titik, yaitu urusan ibadah haji, pencatatan nikah atau rujuk di KUA, dan pendidikan.
“Kalau di Kemenag, layanan penyelenggaraan ibadah haji yang kita usulkan. Kemudian layanan KUA, KUA itu kan di sana sini masih ada korupsinya, perlu disurvei. Yang ketiga layanan pendidikan. Di situ kan ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah), ada KIP (Kartu Indonesia Pintar), ada BSM atau Bantuan Siswa Miskin dan ada juga bantuan prasarana. Jadi intinya tiga layanan publik yang dari Kemenag kami sampaikan ke KPK untuk bisa disurvei,” tuturnya.
Melihat fakta di atas, pekerjaan rumah bagi Kemenag ke depan adalah melakukan pengawasan lebih ketat dan intensif agar oknum pegawai KUA di penjuru nusantara lebih tertib dalam melaksanakan tugasnya sesuai regulasi dan komitmen tidak akan menerima gratifikasi. (Adm)