Ayu Utami, penulis Novel Saman, yang lahir pada akhir 60-an, mengaku hidup dalam generasi yang “sial”. Pasalnya, saat masih anak-anak hingga tumbuh dewasa, ia “terkukung” dalam hawa rezim militer, sebuah struktur dengan informasi dan jenjang karier dijaga dan dikuasai oleh para senior.
“Generasi saya bisa dikatakan generasi yang “sial”, he-he-he,” ujar Ayu seusai acara kuliah umum Latin America, Art, Revolution, and Theology di Salihara, Jakarta, beberapa waktu lalu, melalui kompas.com.
Ia kemudian tumbuh dengan kesadaran harus paham, takut, dan hormat dengan yang lebih senior.
“Ketika giliran jadi senior, eh, aturan main berubah. Sekarang kami harus tetap belajar lagi, memahami generasi muda, kaum milenial,” kata Ayu.
Justru, para senior yang harus mendengarkan junior karena mereka yang menguasai teknologi, terutama digital.
Mereka juga menjadi produsen informasi. Bahkan, menerbitkan buku sendiri pun kaum milenial mampu.
“Kalau zaman saya, untuk menerbitkan buku susah sekali. Harus melewati editor, lewat proses ini dan itu, enggak gampang. Sekarang, mereka bisa menerbitkan apa saja yang mereka mau, satu atau 1.000 eksemplar pun bisa. Akses untuk berbagai karier juga terbuka,” ujarnya.
Kini, seseorang tidak bisa lagi menjadi senior atau menjadi tua lantas ongkang-ongkang kaki.
“Harus terus belajar. Enggak ada lagi privilese menjadi senior,” tutur Ayu. (Adm)